Kalau bicara
soal trend, tidak bisa di ramalkan. Peramalan trend dipenuhi dengan kesukaran.
Dengan mengabaikan sikap hati – hati, sejak lima kepemimpinan di negeri ini.
Dalam pengembangan software menawarkan apa yang mereka harapkan belum menjadi
trend perkembangan Software Development di Negara ini. Banyak alasan, mulai
dari regulasi yang mengekang produk production house (khususnya para
programmer), ketidak tegasan pemerintah dalam memotivasi para komunitas IT dan
pembangunan infrastruktur yang belum siap.
Dua tema memotong ke seberang bidang-bidang
yang memanfaatkan sumber luar akan terus memberikan efek ke lebih banyak lagi
orang, dan tester, manajer proyek dan analisa bisnis akan perlu mempelajari
bagaimana cara menghadapi tantangan dari penyalur (distribusi). Juga,
perkembangan yang cepat akan bertambah populer, sementara percobaan dan
kebutuhan rancang bangun akan perlu menemukan tempat mereka di lingkungan
tersebut.
Read/WriteWeb
membuat sebuah artikel menarik yang berjudul “The Future of
Software Development“. Pada artikel tersebut dibahas
bagaimana pengembangan perangkat lunak di masa depan dengan sedikit meninjau
kembali metode software development yakni waterfall dan agile. Rasanya seperti
kuliah RPL lagi. Kesimpulan yang diambil pada tulisan tersebut adalah
pengembangan perangkat lunak di masa depan akan menggunakan bahasa pemrograman
high level, dukungan library, dan metode agile.
Untungnya, berbeda dengan kuliah Rekayasa
Perangkat Lunak (Software Engineering) yang dosennya Pak Sugeng ming,
kali ini saya nggak ngantuk.
Kalau ditarik lebih luas lagi, saya melihat
ada kecenderungan kurangnya peminat untuk mempelajari hal-hal yang low level
pada saya kuliah S1. Kuliah Pemrograman Sistem, Jaringan Komputer, Sistem
Operasi, Organisasi dan Arsitektur Komputer jadi momok. Saya nggak tahu apakah
ada ‘faktor lain’. Tapi yang jelas, salah seorang dosen di kampus saya pernah mengeluhkan
hal itu di kelas. Apa hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman atau karena
mahasiswa sekarang malas-malas? Mungkin ini menjadi sesuatu yang harus
disayangkan. Tapi apa perlu? Saya suka bertanya-tanya sendiri. Emang perlu ya
mendalami semua itu? Kalau berpikir secara ideal sih, pasti perlu. Setiap ilmu
pasti ada manfaatnya.
Kembali ke topik awal, bagaimana dengan
library yang udah banyak tersedia? Menurut saya itu bener banget. Mengambil
contoh diri sendiri lagi, kemarin saya baru aja minta kode sebuah aplikasi
bikinan temen saya, buat suatu bagian di program buat tugas akhir. Saya
berpikir, daripada bikin sendiri, mending pakai yang udah ada. Contoh lain,
saat tulisan ini dibuat, teman saya yang lain, juga menemukan framework yang
bakal ngurangin sebagian besar kerjaannya. Hal-hal seperti ini sering terjadi.
Sepertinya segalanya udah ada diciptakan, tinggal bagaimana kita membuat
kolaborasinya dan nambah-nambahin sedikit.
Terakhir, terkait agile, saya gak terlalu
banyak komentar. Agile erat kaitannya dengan iterasi. Saya belum pernah
merasakan iterasi yang bener-bener iterasi, tapi mengenai requirement yang
terus berubah saya beneran pernah ngerasain. Dari situ saya kenal refactoring.
Senang rasanya melihat fitur itu kepasang di sejumlah tools.
Metode pengembangan perangkat lunak Agile ini
mungkin cocok diterapkan di Indonesia karena kegesitannya, iteratif dan mampu
beradaptasi dengan perubahan yang sering terjadi pada proyek perangkat lunak.
Bukankan karakteristik perangkat lunak di Indonesia cenderung berubah, mulai
dari proyeknya sampai kebutuhan user? (Proyek perangkat lunak memang
menyebalkan, karena user atau customer dapat melakukan perubahan requirement
Trend Software Open Source
Pemerintahan di seluruh dunia saat ini sedang
tertular demam open source, sebuah software yang mengijinkan mereka untuk
melihat dan memodifikasi source codenya, tidak seperti proprietary software
seperti yang dibuat oleh Microsoft. Namun pertanyaanya apakah trend global ini
akan terus berlanjut? Jawabannya tergantung pada beberapa faktor yang
merintangi penyebaran gerakan open source ini.
Salah satu rintangannya adalah awal
pengembangan teknologinya yang lebih banyak berorientasi pada server dari pada
aplikasi desktop, selain itu adanya oposisi yang dilakukan oleh Microsoft
(perusahaan software yang paling dominan di dunia) yang menempatkannya sebagai
perusahaan yang paling terpukul jika pemerintahan beramai-ramai beralih ke
produk open source.
Saat ini produk open source yang paling
terkenal adalah Linux yang mana pada acara LinuxWord baru-baru ini di
California terus-menerus mempromiskan Linux dan terus melakukan pengembangsan
produk. Dan makin banyak pembuat software yang mempatenkan idenya sebagai
software open source dan membuat persaingan makin seru.
Beberapa tahun belakangan, “U.N. World Summit
on the Information Society” (WSIS) menjadi event yang paling diperhatikan oleh
negara-negara berkembang. Dari deklarasi WSIS terlihat tawaran-tawaran solusi
software open source untuk negara-negara berkembang. Dan isunya sudah mencapai
ke agenda pemerintahan multilateral yang mana sebagian besar memiliki persepsi
yang sama bahwa software open source lebih murah dan lebih mudah daripada
produk proprietary.
Hal tersebut juga diperhatikan oleh
“Organization for Economic Cooperation and Development”, yang menganjurkan
penggunaan teknologi open source dalam petunjuk cyber-security-nya. Selain itu
“World Intellectual Property Organization” berencana mengadakan pertemuan untuk
membicarakan hal yang sama tahun depan. Sedangkan pada pertemuan “Asia Pacific
Economic Cooperation” (APEC) di Thailand, Amerika mendorong pemerintahan agar
tidak ikut campur dan menyerahkan pilihan pada pasar apakah mau menggunakan
software open source atau proprietry.
Meskipun muncul persaingan menghadapi software
open source ini, industri teknologi Amerika mengakui secara signifikan adanya
evolusi dibidang industri ini. Pemain-pemain besar seperti IBM, Intel dan
Oracle, telah mengakomodasi open source dalam produk dan service-nya. Asosiasi
industri amerika (”U.S. industry trade associations”) makin serius membahas
tentang propriety dan open source ini.
Posisi pemerintah Amerika terhadap open
source juga mencerminkan adanya perpecahan dalam industri dan sudah menjadi
pandangan Amerika bahwa dalam pertarungan internasional, hukum seharusnya tidak
menentukan teknologi mana yang seharusnya digunakan, apakah itu open source
atau propriety. Menurut mereka pemerintahan seharusnya netral dalam investasi.
Mereka juga menambahkan bahwa US tidak menghalangi gerakan open source namun
memberikan keduanya (baik software open source maupun proprietary) kesempatan
yang sama dan silakan anda pilih mana yang lebih baik, lebih cepat dan lebih
cost effective. Dan sepertinya banyak industri dan pemerintahan yang setuju
akan hal tersebut.
Pemerintahan diseluruh penjuru dunia saat ini
sedang beramai-ramai mengadopsi produk open source, namun usaha untuk membuat
peraturan yang mengunggulkan penerapan open source banyak yang digagalkan.
Uni Eropa dan banyak negara di Eropa termasuk
Austria, Belgia, Bulgaria, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Itali,
Belanda, Portugal, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukraina dan Ingris telah
memperlihatkan dukungannya kepada open source, sebagai contoh pemerintahan
Spanyol yang secara resmi mengadopsi software open source dan memutuskan serta
meminta agar departemen-departemen pemerintahan tertentu untuk menggunakan free
software, keputusanya diimplemantisakan di musim semi 2003.
Sedangkan “Department of Communications,
Information Technology and the Arts” Australia baru-baru ini menyatakan bahwa
pemerintah tidak membutuhkan hukum dan guideline dalam pemakaian software
karena sudah menjadi kewajibannya untuk mempertimbangkan segala opsi dan
memilih mana yang pantas. Dan mereka mengatakan usulan “Australian Unix Users
Group” (AUUG) mengenai “open source procurement guidelines” (yang kalo
diterapkan implikasinya manaruh hati pada open source) dianggapnya tidak perlu.
Sedangkan Darren Sommers, dari “Herbert Geer and Rundle Lawyers”, menyatakan
proposal AUUG hanyalah guidelines dan tetap membutuhkan dukungan legislasi
untuk membuatnya memiliki kekuatan.
Di Asia, pemerintah korea bersama-sama dengan
jepang dan china juga sedang mempertimbangkan pemakaian open source dalam
penelitian dan usaha pengembangan, bahkan china sendiri telah mengadopsi open
source. Menurut “Gartner Australia”, yang paling tertarik dalam penggunaan
Linux di kawasan Asia Pacific adalah Australia, Jepang, China dan Korea. Dan
momentum ini datang dari pihak pemerintah bukan dari enterprise. Berbeda dengan
Singapore yang tidak mempertimbangakn penggunaan Linux secara meluas di
pemerintahan seperti yang dinyatakan oleh “Infocomm-Development Authority (IDA)
of Singapore” (pembuat peraturan dibagian indistri teknologi). Dan menurut
“Gartner Australia” Singapore memang lebih dekat ke Microsoft dan perusahaan
tradisonal pengembang software komersial lainnya. Namun IDA sekarang telah
memasukkan Linux sebagai opsi untuk tender dan kontrak pemerintah. Sedangkan di
Malaysia, perdana menteri Mahathir Mohamad tertarik terhada software open
source dan menganjurkan pelayan sipil untuk mengadopsinya.
Industri Amerika memperhatikan perkembangan
internasional ini dan tidak segan berkomunikasi secara langsung bila sudah
menyangkut peraturan, legislasi, dan kebijakan pemerintah. “Association for
Competitive Technology”, yang mana Microsoft menjadi anggotanya, telah
mempertanyakan “peraturan yang menentukan pemilihan teknologi” apakah melanggar
hukum WTO. Dan “Initiative for Software Choice (ISC)”, koalisi yang
dioperasikan oleh “Computer and Telecommunications Industry Association
(CompTIA)” yang juga ada Microsoft dalam daftar anggotanya, terus mengamati
perkembangan “open source legislative”.
Baru-baru ini, asosiasi perdagangan open
source yang bernama “Open Source and Industry Alliance”, dibentuk di Washington
sebagai serangan balik terhadap manuver-manuver Microsoft. Dan mereka
menekankan bahwa isu sebenarnya adalah mengenai Linux. Apa yang Microsoft
inginkan adalah mengalahkan Linux dan menciptakan keraguan akan penjualan dan
pendistribusian Linux.
Namun sebenarnya kunci pengadopsian produk
open source juga terletak pada sikap pemerintahan dalam membuat keputusan.
Namun dunia industri kelihatannya selalu berebut opini bahwa menilai keunggulan
software harus fair dan pemerintah seharusnya memilih produk yang paling sesuai
dengan kebutuhannya tidak berdasarkan pada emosional.
Di Brasil, sejak Luiz Inacio Lula da Silva
dari partai buruh menjabat presiden mulai januari 2003 lalu, dukungan
pemerintah terhadap open source makin kuat. Dan baru-baru ini disana diadakan
“Legislative Free Software Week” yang berlangsung dari 18-22 Agustus 2003 yang
diadakan oleh “Federal Senate”. Dalam event tersebut terlihat bahwa
pemerintahan Brasil tidak hanya berlarut-larut dalam diskusi mengenai
penggunaan free software namun mengambil langkah-langkah nyata dalam
penerapannya untuk pemerintahan. Bahkan anggota kongres dari partai buruh,
Walter Pinheiro, menyatakan bahwa “kongres akan menunjukkan bahwa pembeli
software terbesar, yaitu pemerintah, menggunakan free software dan ini mungkin
akan menjadi contoh yang baik bagi yang lain”. Dan Pinheiro juga mengatakan
bahwa “House of Representatives” tidak akan memperbaharui Microsof office nya
yang senilah US $1.3 juta dan sedang mempelajari alternatif free software“nya,
dan selanjutnya akan mengganti sistem email-nya dengan produk free sosftware.
Sedangkan di Amerika tidak ada hukum mengenai
open source yang dapat dijadikan model oleh industri, namun pihak CompTIA lebih
menyukai hukum di New Zealand, yang pada initinya menjelaskan bahwa dalam
membeli software harus berdasarkan cost, fungsi, security, dan kemampuannya
dalam bekerja dengan sistem lain.
Dibulan april 2003, “Center of Open Source
and Government” yang berada di “George Washington University”, menyatakan bahwa
kecurigaan yang dibangun industri software proprietary hanya berusaha agar
pemerintahan tidak membuat hukum yang mempertimbangkan open source. Dan pihak
“Center of Open Source and Government” setuju dengan pernyataan eksplisit
pemerintah Afrika Selatan yang melegitimasi open source dan memerintahkan
lembaga-lembaga pemerintah untuk memimpin program open source. Selain itu
mereka juga menyetujui pernyataan Afrika Selatan bahwa beberapa ketetapan yang
menguatkan open source dibutuhkan sampai open source memiliki kekuatan
kompetitif yang sama dengan software proprietry, dan mendukung pengakuan Afrika
Selatan bahwa produk opensource memiliki keuntungan sosial dan sekaranglah
waktu untuk mengadopsinya